Cukuplah papan bercat putih sederhana dengan tulisan “Selamat Datang di Gili Genting”. Ngga perlu sambutan kebudayaan daerah. Ngga perlu hamparan karpet merah. Apalagi lambaian-lambaian tangan dari barisan kembang desa berbibir merah. Sama sekali ngga perlu. Yang aku harapkan saat ini ialah sesuatu yang beribu-ribu kali lebih penting dari hal itu. Sebuah papan. Papan ucapan selamat datang dengan penunjuk arah toilet dibawahnya. Ya, Cukup itu. Bayangkan saja, bagaimana rasanya 5 jam perjalan dengan beberapa kali macet, peluh yang bercucuran karena kepanasan, dan lomba nahan ngantuk of the year yang entah kenapa tiba-tiba terjadi sepanjang perjalanan Bangkalan - Sumenep.
Lalu sebagai guest-starnya, aku masih harus menahan kebelet 'bi-ei-bi' (baca: BAB) disepanjang perjalanan tersebut. Berat? Bahkan untuk seorang pro-toiletman verified centangnya tiga sepertiku, situasi seperti ini adalah situasi yang paling menyiksa. Lebih menyiksa dari jempol kaki yang kepentok meja. Lebih menyakitkan dari bulu kaki yang dicabutdan digoreng dadakan pake lakban. Lebih menderita dari pada ngeliat Raisa tunangan sama Hamish Daud yang cuma modal kacamata dan brewok 'agak' elegan. Ini... Yang seharusnya disebut sakit, tapi ngga berdarah~
Lalu sebagai guest-starnya, aku masih harus menahan kebelet 'bi-ei-bi' (baca: BAB) disepanjang perjalanan tersebut. Berat? Bahkan untuk seorang pro-toiletman verified centangnya tiga sepertiku, situasi seperti ini adalah situasi yang paling menyiksa. Lebih menyiksa dari jempol kaki yang kepentok meja. Lebih menyakitkan dari bulu kaki yang dicabut
*agak bau dikit ya ngga juga sih, kalo bau banget iya...
*duh
***
The Begining
Saat ini, aku sedang berada di atas perahu yang akan membawaku menuju Gili Genting. Berikut rombongan Nak-kanak Blogger Plat-M. Berikut penumpang lain yang juga ingin menyebrang (fyi: biaya menyebrang 10rb/orang). Berikut penderitaan yang sudah aku beberkan dua paragraf sebelumnya. Berikut pula ombak yang entah kenapa hari itu lumayan gede. Hingga cukup membuat pusing kepala bahkan sebelum perahu berangkat. Dan akibat 'berikut-berikut' tersebutlah, aku hanya mampu mengharapkan sebuah papan dengan penunjuk toilet disebelah mana, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Gili Genting.
Hasilnya... Nihil!
Hasilnya... Nihil!
Malah view kek begitu yang pertama kali diberikan sama Gili Genting. Air yang super bening lengkap dengan ikan-ikan kecil yang berenang menjauhi perahu. Tega! Mana ucapan selamat datangnya? Mana papan yang biasa buat foto instagram itu? Mana? Yang lebih penting lagi, mana papan penunjuk toiletnya Gili Genting? Mana?!! Belum juga turun dari perahu, masak udah dibikin gagal move on. Ah!
Aku pun turun dengan kekecewaan yang meluap-luap. Jika diibaratkan, udah persis kayak air tandon yang meluber gara-gara lupa dimatiin. Lupa dimatiin selama 3 hari. Terlebih, saat aku sadar rasa mules yang sedari tadi ku tahan dengan penuh penderitaan, hilang entah kemana. Hancurlah sudah rencanaku untuk menceritakan bagaimana pengalaman menikmati toilet ketika pertama kali sampai di Gili Genting.
Masih dengan segala kekecewaan tersebut, aku dan teman-teman Plat-M menyegerakan langkah kaki menuju homestay yang sudah disiapkan oleh Kepala Desa Bringsang. Ya, terkadang wisatawan yang berkunjung ke Gili Genting memang akan dilayani Pak Klebun langsung (sebutan Kepala Desa dalam Bahasa Madura). Kami pun menghabiskan waktu dengan makan dan beristirahat siang itu. Karena selain cuaca sedang panas cerahnya, perjalanan kami pun tidak mudah. Dan berkat itulah, rasa mulesku kembali. Yes! Aku pun bergegas menuju masjid yang berada di dekat homestay. Finally, kewajibanku sebagai seorang muslim dan pro-toiletman, sudah terpenuhi. Alhamdulillah ~
Aku pun turun dengan kekecewaan yang meluap-luap. Jika diibaratkan, udah persis kayak air tandon yang meluber gara-gara lupa dimatiin. Lupa dimatiin selama 3 hari. Terlebih, saat aku sadar rasa mules yang sedari tadi ku tahan dengan penuh penderitaan, hilang entah kemana. Hancurlah sudah rencanaku untuk menceritakan bagaimana pengalaman menikmati toilet ketika pertama kali sampai di Gili Genting.
Masih dengan segala kekecewaan tersebut, aku dan teman-teman Plat-M menyegerakan langkah kaki menuju homestay yang sudah disiapkan oleh Kepala Desa Bringsang. Ya, terkadang wisatawan yang berkunjung ke Gili Genting memang akan dilayani Pak Klebun langsung (sebutan Kepala Desa dalam Bahasa Madura). Kami pun menghabiskan waktu dengan makan dan beristirahat siang itu. Karena selain cuaca sedang panas cerahnya, perjalanan kami pun tidak mudah. Dan berkat itulah, rasa mulesku kembali. Yes! Aku pun bergegas menuju masjid yang berada di dekat homestay. Finally, kewajibanku sebagai seorang muslim dan pro-toiletman, sudah terpenuhi. Alhamdulillah ~
*ngga penting banget sumpah :v
Pesona Sunset dan Mbak-mbak di Pantai Sembilan
Sore hari pun tiba tanpa diundang. Ibarat mantan yang tiba-tiba ngechat setelah lama hilang tanpa kabar. Kami memutuskan untuk bermain Banana Boat dan menikmati sunset di Pantai Sembilan, Gili Genting.
foto oleh : @ilhambagus.p |
Pantai Sembilan inilah yang memang sedang gencar dipromosikan. Pasirnya putih. Airnya biru jernih. Fasilitas yang lengkap, meskipun toilet/kamar mandinya agak tersembunyi sih. Ayunan, tempat berjemur, papan tulisan, rangkaian daun berbentuk love, hingga ranjang bekas yang sudah 100% instagramable banget. Tinggal cari saja mbak-mbak yang mau diseret atau difoto secara diam-diam. Yakali ngga sengaja typo bilang ijab kabul, pas disahkan sama penghulu yang juga tiba-tiba muncul entah dari mana, kan ya lumayan. Hahaha. #apasih #dasarJomblo #abaikan
foto oleh : @fadelabuaufa |
foto oleh : @fadelabuaufa |
Bibir pantai sembilan ini benar-benar sempurna. Persis bibirnya Isyana yang kepedesan gara-gara Mie Ayam Pak Halim. Hot! Merah! dan bikin gerah! Selama tidak dalam keadaan mendung, prosesi mulai dari matahari menjadi jingga, turun perlahan hingga terbenam, benar-benar terlihat jelas dari pantai ini. Sudah pasirnya putih, airnya jernih, sunsetnya begituh. Gimana ngga mau typo ijab kabul disini ya kan? Iya kan mbak?? Lihat aku donk Mbak! Plis mbak!!! Hey!!! MBAK!!!
*mbaknya masih ngga noleh
*malah masnya yang noleh
*lalu aku juga noleh, biar dikira orang di belakangku yang berteriak
*padahal dibelakang ya ngga ada orang, sih.
*hingga akhirnya mereka hidup bahagia, selamanya*
- Terpaksa END -
Dan ketika malam tiba, Pantai Sembilan ini masih saja ramai pengunjung. Sekedar ngopi ditemani semilir angin laut kayaknya sudah bisa dikategorikan romantis, ya kan?
*cowok di depanku ngangguk
#omaigat!
- KALI INI END BENERAN -
*mbaknya masih ngga noleh
*malah masnya yang noleh
*lalu aku juga noleh, biar dikira orang di belakangku yang berteriak
*padahal dibelakang ya ngga ada orang, sih.
*hingga akhirnya mereka hidup bahagia, selamanya*
- Terpaksa END -
Dan ketika malam tiba, Pantai Sembilan ini masih saja ramai pengunjung. Sekedar ngopi ditemani semilir angin laut kayaknya sudah bisa dikategorikan romantis, ya kan?
*cowok di depanku ngangguk
#omaigat!
- KALI INI END BENERAN -
Mencari Toilet di Koreanya Pantai Kahuripan Gili Genting
Keesokan harinya, kami melanjutkan eksplorasi ke Pantai Kahuripan. Masih di Gili Genting, namun berbeda desa dengan Pantai Sembilan. Untuk menuju ke Pantai Kahuripan, kami harus menyewa satu buah pick-up. Karena memang jaraknya cukup jauh. Sekitar 30 menit perjalanan. Dan karena kami berencana untuk mengejar sunrise, walhasil kami pun harus diospek untuk bangun pagi buta. Meskipun akhirnya mataharinya keburu terbit sih. Tapi Pantai Kahuripan benar-benar menawarkan pesona yang bertolak belakang dengan Pantai Sembilan.
Pantai Kahuripan merupakan tebing-tebing curam dengan ombak yang cukup besar yang selalu menghantamnya. Airnya juga biru, namun benar-benar belum ada fasilitas sama sekali disini. Suasananya masih sangat alami. Ditambah lagi dengan pohon-pohon yang entah apa namanya berjejer layaknya pagar alami sepanjang tebing. Dan yang pasti, adalah sunrise point yang tak henti-hentinya membuat aku lupa bahwa ngga ada toilet disini.
foto oleh : @niyasyah |
Dan sebagai bonus, jalan untuk menuju Pantai Kahuripan ternyata juga punya pesonanya sendiri. Jalan yang katanya mirip kayak di Korea. Ngga tau juga itu Korea Utara atau Selatan. Yang pasti, ketika berjalan disini aku juga masih tidak bisa menemukan toiletnya sebelah mana. Bodo lah ya, intinya, tempat ini fix! Ada dan tercipta memang untuk di-instagramkan. #udahgituaja
***
And then, This is would be the end of the story
Sebagaimana semestinya sebuah cerita yang memiliki awal, begitu pula dengan ceritaku ini. Tibalah kita pada sebuah akhir. Meskipun bukan untuk selamanya sih. Semoga. Amin. Haha.
Well, sebenarnya sudah sekian lama aku ingin berkunjung ke pulau ini. Ya gara-garanya juga karena ngga sengaja liat salah satu foto teman yang berkunjung kesini. Hingga akhirnya, baru kemarin kesampaian untuk berkunjung bersama teman-teman Komunitas Blogger Madura (Plat-M). Perjalanan yang diawali dengan begitu penuh peluh, gelak tawa, sakit perut, hingga lomba menahan ngantuk of the year. Menelusuri dua pantai dengan suasana yang berbeda. Namun hasilnya tetap sama. Gerah!.
Well, sebenarnya sudah sekian lama aku ingin berkunjung ke pulau ini. Ya gara-garanya juga karena ngga sengaja liat salah satu foto teman yang berkunjung kesini. Hingga akhirnya, baru kemarin kesampaian untuk berkunjung bersama teman-teman Komunitas Blogger Madura (Plat-M). Perjalanan yang diawali dengan begitu penuh peluh, gelak tawa, sakit perut, hingga lomba menahan ngantuk of the year. Menelusuri dua pantai dengan suasana yang berbeda. Namun hasilnya tetap sama. Gerah!.
Big thanks to @bloggermadura (Plat-M.com) |
Gili Genting, begitulah pulau itu biasa di panggil. Masih pengen balik lagi, maen lagi, gerah lagi. Dan untuk itu, aku sudah memantapkan batin untuk gagal move on dari Gili Genting.
*mode ala-ala Cinta di AADC2*
Gili Genting... Yang kamu lakuin ke aku itu... Jahat!
Wassalam!
Credit :
Terima kasih banyak juga kepadan spesial Guide kami Mas Vicky (Madura Indah Wisata) dan Mas Fadel (@fadelabuaufa). Pelayanan mereka berdua, totalitas!
0 komentar:
Posting Komentar